================================
DAMPAK SISTEM BUNGA TERHADAP KETERPURUKAN EKONOMI INDONESIA
(Studi Kasus Krisis Moneter Indonesia 1997 – 2004)
(Studi Kasus Krisis Moneter Indonesia 1997 – 2004)
Oleh : Agustianto, Sekjen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI)
Pendahuluan
Krisis moneter yang pada mulanya terjadi di Thailand tahun 1997, menular ke Malaysia, Philipine, Korea dan Indonesia. Pasar saham dan kurs uang tersungkur jatuh secara dahsyat. Bank sentral terpaksa turun tangan dengan mencetak uang baru, melakukan transaksi forward dan menaikkan tingkat bunga yang tidak terduga. Volatilitas krisis menimbulkan badai yang kuat menuju kehancuran dan mengakibatkan goncangnya sistem perbankan yang rapuh. Padahal lembaga perbankan merupakan tulang punggung perusahaan manufacturing yang selama ini mengandalkan bunga rendah. Selama tahun pertama krisis kurs mata uang di lima negara terdepresiasi 35 – 80 %, bahkan Indonesia, mencapai 400 %. Hal ini menyebabkan menciutnya nilai kekayaan dari negara-negara tersebut khususnya Indonesia.
Nilai rupiah yang pada mulanya setara dengan Rp 2.445, meningkat secara tajam menjadi Rp 17.000-an. Dalam masa yang panjang, nilai rupiah ini bertenggger di atas Rp 10.000.-. Kondisi ini membuat lembaga perbankan terpaksa menaikkan suku bunga secara tajam pula, yaitu mencapai 70 %. Akibatnya lembaga perbankan konvensional kesulitan mengembalikan bunga tabungan/deposito nasabah, sementara pendapatannya lebih kecil dari kewajibannya untuk membayar bunga, ditambah lagi kredit macet akibat krisis moneter. Inilah yang disebut dengan negative spread yang berarti lembaga perbankan terus-menerus merugi dan modalnya semakin terkuras yang pada gilirannya berakibat pada likuidasi sejumlah bank.
Bank-bank raksasa yang memiliki nasabah jutaan orang, yang kekurangan modal, terpaksa direkap (disuntik modal) oleh pemerintah melalui Bank Indonesia dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sejumlah sekitar Rp 400 triliun.
Kalau tidak dibantu, pastilah bank-bank rekap itu mati/tutup karena CARnya di bawah standart yang ditetapkan pemerintah (8 %).
Karena pemerintah tidak memiliki uang cash/riil, maka pemerintah membantu modal bank konvensional itu dalam bentuk obligasi. Kalau namanya obligasi, pastilah memiliki bunga. Bunga ini selanjutnya kembali menjadi beban pemerintah yang tak lain adalah dana APBN. Dana APBN adalah milik rakyat dan bangsa Indonesia, bukan milik para konglomerat pemilik bank. Membantu modal bank ribawi itu, berarti membantu para kapitalis (pemilik dana).
Besarnya kewajiban pemerintah membayar bunga obligasi kepada bank-bank rekap sangat luar biasa. Pada tahun 2001 saja, bunga obligasi yang harus dibayar APBN sebesar Rp 61,2 Triliyun . Dan ini berlanjut terus setiap tahun sampai sekarang, walaupun cenderung semakin mengecil. Oleh karena beban membayar bunga itu, tidak mengherankan jika APBN kita defisit terus menerus. Pada tahun 2002 APBN defisit Rp 54 triliun. Pada tahun 2003 defisit Rp 45 triliun, pada tahun 2004 difisit Rp 35 triliun. Masih defisitnya APBN tahun 2004 yang lalu , karena dana APBN masih dikuras bunga bank sebesar Rp 68 Trilyun.
Dana APBN untuk Membayar Bunga SBI
Selain kewajiban membayar bunga obligasi, pemerintah juga berkewajiban untuk membayar bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) kepada lembaga-lembaga perbankan yang menempatkan dana rakyat di Bank Indonesia. Pada tahun 2002 besar bunga SBI 17 %. Penempatan dana tersebut dilakukan oleh bank-bank pemerintah maupun bank-bank swasta. Dana masyarakat yang ditabung di lembaga perbankan ternyata lebih banyak disimpan di Bank Indoenesia, sehingga fungsi intermediasi perbankan saat itu lumpuh.
Hal itu terlihat dengan jelas pada LDR lembaga perbankan konvensional yang masih sangat rendah. Pada tahun 2001-2003, LDR bank konvensional berkisar, sekitar 30 – 40 %. Ini berarti bahwa hanya 30-40 % saja tabungan masyarakat yang disalurkan, padahal sektor riel mengharapkan bantuan modal. Sisanya 60 – 70 % terperangkap pada kegiatan riba yang jelas menjadi beban pemerintah yang pada gilirannya menjadi beban rakyat.
Lembaga perbankan yang menempatkan uangnya di Bank Indonesia, akan mendapatkan bunga SBI. Pada tahun 2001-2002, bunganya mencapai 17 % . Bayangkan, pada saat itu dana bank konvensional yang disimpan di SBI mencapai Rp 500 Trilyun. Dengan demikian, pemerintah berkewajiban membayar bunga SBI sebesar 17 % x Rp 500 triliun, yaitu Rp 85 Trilyun, untuk satu tahun. Uang sebesar ini jelas menjadi beban APBN. Oleh karena itu tak mengherankan jika APBN dari tahun ke tahun terus mengalami defisit. Kondisi ini berlangsung selama hampir tiga tahun. Untunglah sejak tahun 2003 bunga SBI mengalami penurunan secara bertahap. Pada awal tahun 2004 bunganya berkisar 8-9 %. Meskipun demikian, angka ini ini tetap menggerogoti uang negara.
Beban APBN
Yang perlu dicatat dan menjadi keprihatinan besar di sini adalah, bahwa pembayaran bunga obligasi dan bunga SBI dibebankan kepada rakyat. Dana APBN yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, malah digunakan untuk membantu bank-bank raksasa.
Lebih dari itu, kewajiban membayar bunga obligasi dan bunga SBI telah membuat APBN defisit. Untuk mengatasi defisit APBN pemerintah terpaksa berhutang ke lembaga-lembaga ribawi internasional. Padahal hutang Indonesia telah mencapai titik yang membahayakan ketika itu. Apabila pada tahun 2002 saja, hutang Indonesia total Rp 1401 Trilyun, (hutang luar negeri Rp 742 Trilyun, hutang dalam negeri sebesar Rp 659 Trilyun, maka pada tahun 2003, hutang Indonesia telah mencapai Rp 2000 Trilyun. Jika kita hanya mampu membayar hutang tersebut Rp 2 Trilyun setahun, berarti hutang luar negeri itu baru lunas lebih dari seribu tahun, itupun kalau tidak ditambah hutang baru. Hutang ini, jelas menjadi beban cucu dan cicit kita di masa depan, yang diprediksikan 20 turunan generasi ke depan masih menanggung hutang dan bunga ini
Pada tahun 2004, Indonesia menambah hutang baru lebih dari 3 milyar dolar AS. Setiap tahun bangsa Indonesia harus menambah hutang, untuk menutupi defisit APBN. Hutang ini jelas menjadi beban yang berat bagi generasi Indonesia mendatang.
Selain meninggalkan beban hutang yang besar bagi generasi mendatang, pemerintah juga terpaksa menaikkan harga barang-barang strategis seperti harga BBM yang berkali-kali dinaikkan sepanjang tahun 2001-2003, bahkan di tahun 2005 ini. Hal ini dimaksudkan untuk menambah in come negara dalam rangka memenuhi APBN yang defisit. Tarif dasar listrik dan telephone juga ketika itu terpaksa dinaikkan untuk menambah income negara mengatasi defisit APBN. Inilah akibat berantai dari sistem ribawi dalam sistem perekonomian Indonesia.
Pajak juga dinaikkan, tetapi banyak dikuras oleh pembayaran bunga. Kasihan rakyat, mereka dizalimi hanya untuk menyumbang bank-bank rekap. Ironisnya lagi, tanpa berbuat apa-apa, bank rekap bergembira ria menerima riba sebesar Rp 61, 2 Trilyun dari pemerintah pada tahun 2001 dan ini berlangsung terus, meskipun mengalami penurunan sampai tahun 2003.
Dari data dan fakta tersebut, maka tak seorang pun bisa membantah, bahwa bunga bank memainkan peran penting dalam merusak perekonomian bangsa Indonesia yang telah semakin memerosokkan Indonesia ke dalam jeratan hutang yang membahayakan.. Bunga juga telah membuat harga BBM, TDL dan telephon naik. Bahkan lebih dari itu, Indonesia terpaksa menjual beberapa asset negara strategis, seperti Indosat, BCA dan perkebunan demi untuk menutupi defisit APBN. Pajak rakyat yang seharusnya digunakan untuk pembangunan, ternyata sangat banyak disumbangkan kepada bank-bank rekap dalam bentuk bunga obligasi dan bunga SBI. Berdasarkan kenyataan ini, maka benarlah apa yang dikatakan oleh Anwar Nasution, Deputi Senior Gubernur BI, bahwa bank-bank rekap tersebut, adalah parasit bagi perekonomian Indonesia. Hal yang sama juga sering diungkapkan oleh pakar-pakar dan praktisi perbankan nasional lainnya, seperti Dr. Drajat Wibowo, direktur INDEF, Hilmi, ( pengawas bank dari Bank Indonesia), dsb. Dari fakta di atas jelaslah bahwa bunga membawa petaka kehancuran ekonomi Indonesia.(Kompas 25 Februari 2002).
Selanjutnya, kita perlu menyaksikan fakta ketidakwarasan/kegilaan pelaku riba sebagaimana yang disebutkan Al-Quran (2:275)., yaitu fakta penjualan (devestasi) sebuah bank swasta raksasa, sebut saja bank ABC. Harga penjualannya sebesar Rp 5 Trilyun. Namun anehnya, pemerintah memberi bunga obligasi kepada bank ini sebesar Rp 9 Trilyun tahun 2001. Penjualan ini menurut H. Hilmi, mantan pejabat Senior Bank Indonesia, menurut tindakan sableng (gila). Sebab menurutnya, setiap penjualan asset, si penjual menerima uang. Tapi dalam sistem yang sableng ini, tidak demikian adanya, “Si penjual tidak dapat uang”, malah nombok lagi dalam jumlah besar dan selanjutnya menyumbang bunga terus menerus.
Karena itu pula, Drajat Wibawa, Ekonom Senior INDEF, mengatakan bahwa perbuatan penjualan saham BCA milik pemerintah (sistem riba) dengan harga Rp 5 Trilyun, tidak sesuai logika dan dikatakannya bahwa perbuatan itu adalah sableng secara kolektif.
Drajad Wibawa, Ekonom Senior INDEF, menulis, (Kompas 25 Februari 2002).
“Kalau transaksi yang jelas-jelas merugikan dan tidak sesuai dengan logika (abnormal/gila) di atas diteruskan, Indonesia memang akan mempunyai landmark kebodohan kolektif. Ini akan menjadi preseden bagi divestasi Bank Danamon. Bank Niaga dan bank-bank lainnya di bawah APBN. Ini juga menjadi preseden bagi proses privatisasi BUMN karena skema sablengnya Stanchart bisa ditiru dengan mudah”.
Dikatakannya demikian, karena di dalam divestasi BCA terlihat perbuatan yang tidak logis. Adalah logis kalau dalam setiap penjualan asset, si penjual menerima uang. Tetapi dalam penjualan BCA tidak demikian. Secara net, ternyata pemerintah tidak menerima uang, malah mengeluarkan uang dalam jumlah besar.
Gambarannya perhitungannya ialah, bahwa pada tahun 2002 pemerintah menerima uang hasil penjualan BCA Rp 5 Trilyun. Tetapi sebaliknya pemerintah justru mengeluarkan uang untuk BCA sangat besar yaitu berupa bunga (riba) obligasi saja sebesar Rp 9,1 Trilyun. Pemerintah memberinya Rp 9,1 Trilyun. Sementara dalam neracanya 31-12-2002 terlihat laba Rp 3 Trilyun. Laporannya itu menunjukkan bahwa BCA terlihat hebat. Tapi ingat, laba ini diperoleh karena mendapat sumbangan bunga riba dari pemerintah sebsar Rp 9,1 Trilyun tadi.
Karena pemerintah bisa bertindak “gila / sableng” seperti itu ? Menurut H. Hilmi, SE, biasanya mereka berdalih, bahwa karena semua penyelesaian tidak ada yang baik, maka karena pusing atau mungkin sempoyongan seperti orang sableng (gila). Mereka terpaksa memilih jalan yang terbaik di antara yang terjelek itu. Serba susah, itulah suatu dilema yang kita hadapi, karena sistem riba.
Melihat realitas di atas, sistem moneter yang menggunakan instrumen bunga adalah sistem yang tidak logis, dan jika ada orang yang masih menggunakannnya berarti ia termasuk tidak waras/gila, sebagaimana diungkapkan Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah 275. “Orang-orang yang memakan (mempraktekkan) riba, tidak dapat berdiri kecuali seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran pikirannya sudah gila. Mereka itu mengatakan bahwa riba dan jual beli sama saja (bisa ditafsirkan bank riba dan bank syariah sama saja). Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa yang telah sampai kepadanya nasehat dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari mempraktekkan riba, maka apa yang pernah dipraktekkan di masa lalu menjadi urusan Allah. Tetapi, siapa yang mengulangi lagi sistem riba , maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka . mereka kekal didalamnya”.
Indonesia tidak bisa berdiri karena bunga, terlihat dari hutang Indonesia yang demikian besar dan kesulitan ekonomi yang dalam. Dan kalau sistem bunga ini diteruskan, maka bangsa Indonesia sebenarnya sudah tidak waras lagi, karena sistem bunga yang sudah jelas-jelas membawa petaka, masih dipertahankan. Karena itu, menjadi kewajiban ummat untuk kembali ke ajaran Ilahi, ajaran Allah Swt, Tuhan yang menciptakan manusia, juga menciptakan sistemnya untuk kita ikuti dan amalkan. Ajaran Ilahi itu teraktualisasi dalam bank-bank Islam yang sekarang tengah berkembang dengan pesat.
===============
Semoga bermanfaat.
Eco Syariah Share
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.